Oleh : RIDHA RASYID
GARDATIMURNEWS.COM || Sulsel,Kita baru saja menyaksikan salah satu bagian dari perhelatan pesta demokrasi, pemilihan presiden (pilpres) di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum jalan Imam Bonjol No 29 Menteng , Jakarta semalam.Selasa( 12/12/23). Perdebatan berjalan sangat menarik, “berisi” dan nyaris substansial dengan 6 sub tema yang menjadi pokok bahasan.
Panelis cukup baik dalam mempersiapkan bahan pertanyaan yang diajukan kepada para kandidat Presiden. Juga moderator telah menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Dalam tulisan ini, ada tiga aspek yang akan kita tinjau dan memberikan apresiasi kepada KPU yang menginisiasi model diskusi sehingga kelihatan jauh lebih apik jika di bandingkan debat sebelumnya pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. KPU RI tidak lagi menerapkan format yang kaku berdasarkan kisi kisi yang monoton. Dan juga kali ini dengan tiga pasang calon presiden yang memiliki kredibilitas mumpuni sesuai bidangnya masing masing.
Tiga aspek dimaksud adalah,
“Pertama, format debat, sebagaimana terlihat pada debat pertama ini, adalah durasi waktu yang amat terbatas. Dengan dua menit bertanya dan satu menit menjawab itu bagi penanya dan sebaliknya satu menit untuk penanggap, kurang cukup untuk mengelaborasi jawaban yang mungkin diperlukan waktu lebih dari itu agar khalayak dapat memahami arah dan maksud dari jawaban juga tanggapan.
“Kedua, pendukung/penonton yang hadir cukup mengganggu konsentrasi dari calon presiden dan boleh jadi juga akan muncul respon balik dari penonton/pendukung lainnya yang justru membuat suasana “panas” akan mempengaruhi kondisi ruang debat.
“Ketiga, yang perlu ada tapi tidak dihadirkan adalah panel yang memberi tinjauan dan evaluasi hasil debat yang terdiri dari pakar, media, wakil konstituen. Ini menjadi penting untuk mendengarkan apa komentar mereka menurut kacamatanya masing masing, yang bukan bersifat konklusi, tetapi sudut pandang mereka menanggapi jawaban para calon presiden itu.
Debat bukan Diskusi.
Debat dan diskusi memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Debat biasanya melibatkan dua pihak yang memiliki pandangan yang berlawanan dan bertujuan untuk membuktikan siapa yang lebih benar atau memiliki argumen yang lebih kuat.
Sementara itu, diskusi lebih cenderung berfokus pada mencari solusi atau pemahaman yang lebih baik melalui pertukaran ide dan pendapat. Oleh karena itu, debat dan diskusi memang memiliki tujuan dan cara berbicara yang berbeda. Namun, keduanya memiliki kegunaannya masing-masing dan bisa menjadi sarana yang efektif dalam memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang suatu topik.
Dari pengertian ini, apakah debat yang diselenggarakan KPU sudah sepenuhnya debat? Kita mungkin belum terbiasa berdebat. Bukan budaya bangsa ini untuk berdebat jika pengertian kita mengggap bahwa itu identik “pertengkaran” pikiran dan nilai dari narasi yang terucap. Bahkan kita riskan untuk melakukannya dengan asumsi bahwa hal itu kurang sopan. Bahwa debat itu tidak ada kaitan langsung dengan etika. Debat itu tidak memerlukan sopan santun, meminjam istilah Rocky Gerung. Oleh karena itu “pertarungan” kecerdasan dan penguasaan materi serta narasi. Pada perdebatan pertama dari rangkaian 5 perdebatan yang direncanakan, perlu ada perbaikan format maupun substansi pertanyaan dari setiap tema pembahasan.
Panelis sedapat mungkin menjangkau hal hal yang sifatnya dinamis , aktual, global dan spesifik yang menjadi fokus kerjasama internasional di berbagai bidang pada tema yang menjadi pembahasan. Juga perlunya tim expert dari para Capres untuk memberikan masukan pertanyaan yang berkualitas kepada calon presidennya serta upaya untuk menguasai inti pertanyaan tersebut sehingga bisa memberikan tanggap balik tatkala jawabannya tidak sesuai apa yang seharusnya menjadi pusat perhatian atas pertanyaan itu.
Evaluasi Debat Pertama.
Mungkin tidak banyak yang menjadi catatan dapat kita lihat pada perdebatan pertama, dari kekurangan dan kelebihannya. Yang jelas bahwa debat pertama memberi kesan dan pesan kepada rakyat yang memiliki kedaulatan untuk memberi mandat kepada siapa calon atau pasangan calon yang akan dipilihnya. Apatahlagi angka undicided voters masih di atas 20% (survey harian Kompas, 28% sementara Pollmark-nya Eep Saefullah Fatta pada kisaran di atas 40%). Pertanyaannya kemudian apakah ajang debat ini bisa dijadikan salah satu parameter mengukur tingkat “keterpengaruhan” konstituen dalam menentukan pilihan.
Dari apa yang sudah menjadi kelaziman demokrasi di Amerika Serikat dalam kontestasi pemilihan presiden-nya menunjukkan bahwa debat itu sangat berpengaruh bahkan nyaris menentukan selain cara “meng-akali” hasil pilpres . Realitas debat memberi kontribusi kemenangan pada negara negara demokrasi yang sudah terbiasa debat adalah salah satu instrumen yang mendapatkan “pembelajaran” khusus oleh tim suksesnya. Mungkin untuk demokrasi model Indonesia belum merupakan ruang yang positif dalam “menggiring” opini masyarakat menilai kredibilitas dan kompetensi calon sehingga berdampak pada elektabilitas. Bahkan tak jarang ada yang berpendapat “nyinyir” bahwa debat itu adalah pemberian kesempatan untuk saling mempermalukan ataupun mengintimidasi lawan. Ini penilaian yang absurd dan boleh jadi kekurang-pahaman tentang makna dari debat itu.
Pelaksanaan debat pertama ini, paling tidak menggambarkan kepada kepada kita tiga hal,
-pertama, bahwa kesiapan calon presiden mengikuti debat masih relatif perlu ada perbaikan. Hendaknya tim sukses yang ada pada mereka, perlu mengevaluasi di mana kekurangan dan kelemahan. Seperti pada penguasaan panggung, persiapan fisik, memahami betul materi apa yang akan disampaikan serta mengantisipasi pertanyaan pertanyaan rumit khususnya terkait kebijakan apa yang pernah diambil ketika mereka menjalankan perannya sebelum masuk sebagai kontenstan pilpres, -Kedua, hal yang sangat perlu adalah pengendalian diri dan emosi seyogyanya terjaga dengan baik. Emosi berlebihan dan tidak terkendali adalah wujud “habisnya” pengetahuan dan pemahaman atas apa yang ingin dijelaskan lebih lanjut. Sebab kala bahan/materi atau narasi sudah tidak ada, pelampiasannya adalah mempertontonkan emosi. Juga benar benar dijaga untuk tidak membuat blunder yang akan mempermalukan diri sendiri,
-Ketiga, KPU RI hendaknya membuat rekapitulasi dan buku pintar terkait hasil debat itu untuk menjadi dokumentasi penting bagi para capres atau pasangan capres dan juga bagi keseluruhan rakyat Indonesia, sebagai bukti bahwa pernah menyampaikan hal hal yang dengan jelas termaktub dalam buku itu.
Pertanggungjawaban moral yang melandasi pembukuan notulen debat, agar menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang ingin mempelajari hal hal yang berhubungan dengan tahapan pilpres itu. Mungkin ini hal baru dan belum pernah ada di dunia, termasuk demokrasi Amerika Serikat, yang memublikasikan secara lengkap hasil debat itu menjadi sebuah buku yang bisa dipelajari dan dibaca oleh masyarakat.
Debat sekali lagi, adalah rangkaian menilai kemampuan seseorang dalam pelbagai perspektif untuk mendapatkan kekuasaan, juga bagaimana kekuasaan itu semestinya dijalankan dari apa yang pernah dijanjikan. Debat jangan diartikan angin lalu yang tidak bernilai, karena ketika itu yang menjadi asumsi kita maka kita hanya membuang buang waktu, menyiakan nyiakan pikiran dan menghabiskan uang cukup besar, namun tidak ada hal hikmah yang dapat diperoleh dibaliknya. Debat itu prestius bukan prestasi.
*Pemerhati Kepemerintahan