GARDATIMURNEWS.COM || GOWA-Tulisan ini lahir sebagai refleksi dari berita di Portalmetro, saluran stasiun televisi swasta live streaming youtube. Saya menyasaksikan penayangannya pada hari Minggu, 19 Mei 2024.
Setelah menyaksikan tayangan beritanya, saat itu, serasa saya tersambar petir di terik matahari. Berbagai perasaan bergulat dan berkecamuk dalam hati dan benak saya. Dalam situasi runyam dan tak menentu seperti itu, lalu kemudian saya “menceburkan diri ke lubuk hati yang paling dalam”. Saya berada di sana agak lama, mencari satu persatu pembuktian dari berita yang ditayangkan tersebut. Pada saat itulah, satu persatu bayangan guru jurnalistikku muncul di hadapanku. Mereka muncul dengan gaya khas mereka ketika dulu membimbing kami berkenalan dengan jurnalistik.
Muncul bayangan guruku Rahman Arge yang dengan semangat berapi-api mengajarkan kami bagaimana menjadi jurnalis yang memiliki jiwa militansi yang kuat, semangat pantang menyerah dan jangan mau direndahkan dan merendahkan. Labrak semua yang ada di depanmu yang menghalangimu untuk mengungkapkan kebenaran. Terngiang suaranya menggelegar mengatakan “Jangan menjadi jurnalis yang pengecut dan pecundang”, lalu mengutip salah satu larik puisi “Aku”-nya Chairil Anwar, “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Tapi ingat, bahwa jurnalis itu bukan malaikat, apalagi Tuhan. Jurnalis adalah manusia biasa. Karena itu, berhati-hatilah, sekali berita dipublish, maka saat itu sudah menjadi milik publik yang sangat sulit untuk dihapus jejaknya. Pompa semangat dan “provokasi”nya ini membuat semangatku terbakar.
Ingin rasanya menerjang berita itu karena dalam pemahaman saya, berita ini tidak berimbang dan sangat subjektif.
Belum lagi hilang bayangan Rahman Arge, muncul guruku Dahlan Abubakar, yang dengan gaya khasnya tersenyum kecil sambil berkata, “Jurnalis itu adalah manusia yang tidak mudah tersulut emosinya. Ia harus tetap tenang dalam segala situasi; ia harus tetap tegar berdiri di atas pijakan dan pendiriannya yang benar berdasarkan fakta yang telah dipastikan keabsahannya”.
Tetaplah tenang, karena ketenanganmu itu akan membuatmu tetap fokus pada satu titik perhatian yang hendak kau kupas dan kuliti. Jangan perturutkan emosimu, karena boleh jadi, emosionalmu itu akan mencelakakanmu dan memupuskan segalanya; akan membuat kamu sulit menemukan diksi yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang seharusnya kamu uangkapkan. Hal yang paling penting, menurut Beliau, bahwa jurnalis hendaklah arif dan bijaksana dalam mengungkap sesuatu atau mempublikasi berita; jangan sampai membunuh karakter atau mendiskreditkan pihak lain. Iya kalau benar, tapi jika salah, siapa yang harus bertanggung jawab?
Jika hasil invesitgasi yang dilakukan oleh jurnalis ternyata sudah terang benderang ada pihak yang bersalah, tuangkanlah semua dalam tulisan berita hasil investigasi dilengkapi data pendukungnya. Setelah itu, terserah pembaca atau pemirsa untuk menyimpulkannya.
Setelah itu, muncul bayangan guruku K. H. Djamaluddin Amien yang dahulu pernah mengajari kami menjadi jurnalis “muslim”. Dengan gaya khasnya yang berkharisma dan “kebapakan”, menerangkan bahwa “jurnalis itu hendaknya mampu mengamalkan kandungan ayat terakhir dari Q.S Al-Imran (Surah ke-2) arti dari ayat itu: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah engkau, tetaplah bersabar dan tetaplah bertahan pada batas kesabaranmu, dan bertaqwalah kepada Allah semoga kamu menjadi orang yang beruntung), Menurut Beliau, jurnalis itu harus mampu bersabar dan tetap bertahan pada batas kesabarannya untuk tidak mengekspos informasi ataupun berita sebelum ia pastikan kebenaran dari informasi ataupun berita yang akan di publisnya.
Jurnalis yang cerdas bukanlah jurnalis yang sekadar dapat memindahkan fakta yang terlihat sekali sorot di TKP kedalam ulasan beritanya. Lebih dari itu, jurnalis harus mampu menggunakan pisau tajam jurnalistiknya untuk membedah fakta guna melihat apa yang ada di balik fakta yang terlihat itu. Dengan pisau tajam jurnalistik itu, seorang jurnalis harus dapat membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan daya kritis yang tinggi, jurnalis harus mampu mengungkapkan mengapa fakta yang tampak itu terlihat sedemikian rupa. Ingat, kata Beliau, membunuh karakter seseorang itu sesungguhnya sama dengan membunuhnya sebelum sampai ajalnya, karena di mana-mana akan menjadi cibiran, makian, dan boleh jadi umpatan sumpah serapah.
Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa Undang-undang pokok pers menjadikan jurnalis itu kebal hukum. Seorang jurnalis yang sedang bertugas sesuai dengan kode etik jurnalistiknya terlindungi 100% oleh hukum; ia tidak dapat dihalang-halangi oleh siapa pun dalam menjalankan tugas itu. Namun demikian, sekali lagi, jurnalis itu juga manusia dan bukan malaikat apa lagi Tuhan. Dalam posisi ini, mungkin saja melakukan kesalahan ataupun kekeliruan.
Karena itu, jurnalis pun diikat oleh kode etik yang selalu harus menjadi pemandu dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Tambahan lagi, ada Undang-undang ITE yang dapat menjamin keakuratan dan keabsahan berita yang dipublish melalui media elektronik. Undang-undang ITE menjadi rambu-rambu yang menjadi pemandu bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memanfaatkan kecanggihan perangkat elektronik. Curhat Ahmad Sakti.
Laporan : Tahar Jurnalis.