GARDATIMURNEWS.COM || Gowa-Dugaan aktivitas tambang ilegal di Dusun Passimbungang, Desa Bontomanai, Kecamatan Bajeng Barat, Kabupaten Gowa, dimulai pada bulan Juli 2024. Penambangan yang diduga ilegal ini telah beroperasi sejak 1 Juli 2024. Tambang tersebut berlokasi di Dusun Passimbungang dan mencakup lahan seluas 71 are, dengan potensi pengembangan lebih lanjut melalui pembelian lahan atau kerja sama dengan pihak lain.
Tambang ini beroperasi secara individu dan diduga tidak memiliki izin resmi. Material yang ditambang adalah tanah dan pasir, yang diangkut menggunakan satu unit ekskavator dan 40 hingga 50 truk setiap hari. Setiap truk dapat membawa sekitar 9 kubik material, sehingga total volume pengangkutan mencapai 450 kubik per hari. Aktivitas mobilisasi truk dimulai sejak pukul 04.00 pagi hingga 12.00 siang, bahkan berlanjut hingga tengah malam. Dalam beberapa minggu terakhir, penambangan ini hampir beroperasi 24 jam sehari tanpa henti.
Seiring berjalannya waktu, tambang ini mulai menimbulkan berbagai dampak buruk, terutama bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Kerusakan yang paling nyata adalah pada sawah dan lahan di sekitarnya. Erosi tanah mulai terjadi, memicu longsor di perbatasan area tambang yang mengancam keselamatan penduduk. Air limbah tambang dibuang langsung ke sawah produktif yang tengah dalam musim tanam, merusak kualitas tanah dan menurunkan hasil panen petani.
Selain itu, sumber air bersih di sekitar tambang mulai tercemar, ditandai dengan perubahan warna air menjadi kekuningan dan keruh. Dampak ini diperparah dengan sumur resapan yang semakin dangkal, menyebabkan masalah irigasi pada lahan pertanian di area tersebut. Suara bising dari kendaraan truk yang beroperasi terus-menerus juga menjadi keluhan masyarakat.
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan adalah terbentuknya “kubangan” akibat proses penambangan. Lokasinya yang berdekatan dengan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang memiliki sekitar 50 siswa menimbulkan potensi bahaya bagi anak-anak. Selain itu, keberadaan tambang yang diduga ilegal ini memicu konflik sosial di kalangan masyarakat, dengan perpecahan antara yang mendukung dan menentang tambang, yang berpotensi memicu ketegangan antar masyarakat. Aktivitas penambangan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat setempat. Total masyarakat yang terdampak sekitar 184 orang.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sulsel telah membentuk tim untuk mendampingi masyarakat sebagai korban dugaan aktivitas tambang ilegal ini dalam mengadvokasi dan melakukan upaya hukum untuk memastikan kepentingan terbaik bagi masyarakat.
Kuasa hukum, Azhad Zadly Zainal, SH, menyatakan bahwa aktivitas tambang ilegal jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Debu dari penambangan dan truk yang melintas setiap hari dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti penyakit pernapasan, bagi penduduk sekitar. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yang menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan negara wajib untuk menyediakannya”. Penambangan pasir yang tidak terkontrol juga dapat mencemari sumber air dan mengurangi ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar. Menurut Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: “Setiap orang berhak mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif”. Jika terbukti bahwa aktivitas tersebut merupakan penambangan tanpa izin, maka jelas melanggar Pasal 158 UU RI No. 3 Tahun 2020.
Kami telah menyusun agenda advokasi untuk ke depan. Dalam waktu dekat, kami akan membuat laporan kepada pihak berwajib dan mengadukan permasalahan ini ke instansi pemerintah terkait, tegasnya.
Redaksi.